Beranda | Artikel
Makna Kalimat Disyariatkan dalam Kitab Fikih Syaikh Shalih al-Ushaimi #NasehatUlama
Kamis, 3 November 2022

Dengan ini diketahui bahwa kata disyariatkan (مَشْرُوعٌ)
dalam istilah yang digunakan para ahli fikih, mencakup perkara
wajib, sunah, dan mubah.

Makna inilah yang diisyaratkan oleh Ibnu Taimiyah al-H̱afīd
dalam beberapa jawabannya.
As-Samʿānī dalam Qawāṯiʿ al-Adillah berkata,
as-Samʿānī dalam Qawāṯiʿ al-Adillah berkata,
“Disyariatkan artinya dibolehkan secara mutlak dalam syariat.”

Selesai ucapan beliau.
Maksudnya, diizinkan.
Jadi, disyariatkan secara istilah
artinya diizinkan secara syariat.

Ini terbagi menjadi dua kategori:
Pertama, diizinkan dengan izin tuntutan
dengan memerintahkan suatu perbuatan,
sehingga hukumnya menjadi wajib atau mustahab (sunah),
sehingga hukumnya menjadi wajib atau mustahab (sunah).

Kedua, diizinkan dengan izin pilihan
antara melakukan atau meninggalkannya.
Inilah apa yang aku isyaratkan dalam ucapanku,
“Jika dalam masalah hukum ditemukan kata disyariatkan,
maka menurut para ulama artinya tidak diharamkan,
karena ia mencakup sesuatu yang diperintahkan
atau perkara-perkara yang hukumnya dibolehkan.”

“… atau perkara-perkara yang hukumnya dibolehkan.”
Jadi, jika didapati perkataan seorang ahli fikih,
“Disyariatkan ini dan itu …”
maka maknanya mungkin adalah wajib,
mungkin mustahab (sunah), atau mungkin mubah.

Namun, ungkapan ini umumnya dimaksudkan untuk dua hukum pertama (wajib dan mustahab).
Inilah makna perkataan sebagian mufti
bahwa suatu perkara tidak disyariatkan,
tetapi boleh.

Tidak disyariatkan, tapi boleh.
Jadi, maksudnya adalah tidak diperintahkan,
maka hukumnya tidak wajib maupun sunah,
tetapi boleh bagi seorang hamba melakukannya.

Namun disyariatkan terkadang dinegasikan
dengan maksud terlarang secara mutlak
ketika disebutkan dua hal yang saling bertentangan,
ketika disebutkan dua hal yang saling bertentangan.

Misalnya, perkataan mereka, “Tawasul yang disyariatkan dan yang terlarang.”
Sebabnya, terlarang tidak memiliki kemungkinan lain
kecuali perkara tidak boleh, yakni haram.

====

وَيُعْلَمُ بِهَذَا أَنَّ الْمَشْرُوعَ

يَتَنَاوَلُ عِنْدَ الْفُقَهَاءِ

الْوَاجِبَ وَالْمُسْتَحَبَّ وَالْمُبَاحَ

أَشَارَ إِلَى هَذَا الْمَعْنَى ابْنُ تَيْمِيَّةَ الْحَفِيدُ

فِي بَعْضِ أَجْوِبَتِهِ

وَقَالَ السَّمْعَانِيُّ فِي قَوَاطِعِ الْأَدِلَّةِ

وَقَالَ السَّمْعَانِيُّ فِي قَوَاطِعِ الْأَدِلَّةِ

وَالْمَشْرُوعُ هُوَ الْمُطْلَقُ فِعْلُهُ فِي الشَّرْعِ

اِنْتَهَى كَلَامُهُ

أَيْ الْمَأْذُونُ بِهِ

فَالْمَشْرُوعُ اصْتِلَاحًا

الْمَأْذُونُ بِهِ شَرْعًا

وَهُوَ نَوْعَانِ

أَحَدُهُمَا الْمَأْذُونُ بِهِ إِذْنَ اقْتِضَاءٍ

بِطَلَبِ الْفِعْلِ أَمْرًا

وَيَكُونُ وَاجِبًا أَوْ مُسْتَحَبًّا

وَيَكُونُ وَاجِبًا أَوْ مُسْتَحَبًّا

وَالْآخَرُ الْمَأْذُونُ بِهِ إِذْنَ تَخْيِيرٍ

بَيْنَ الْفِعْلِ وَالتَّرْكِ

وَإِلَى هَذَا أَشَرْتُ بِقَوْلِي

إِذَا أَتَى فِي الْحُكْمِ قَوْلُ يُشْرَعُ

فَإِنَّهُ لَدَيْهِمُ لَا يُمْنَعُ

إِذْ إِنَّهُ مِنْ جُمْلَةِ الْمَأْمُورِ

أَوْ ذِي إِبَاحَةٍ مِنَ الْأُمُورِ

أَوْ ذِي إِبَاحَةٍ مِنَ الْأُمُورِ

فَإِذَا وَقَعَ فِي قَوْلِ فَقِيهٍ

يُشْرَعُ كَذَا وَكَذَا

فَإِنَّهُ يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ وَاجِبًا

أَوْ مُسْتَحَبًّا أَوْ مُبَاحًا

وَيُطْلَقُ غَالِبًا عَلَى مَا يَتَنَاوَلُ الْأَوَّلَيْنِ

وَهَذَا مَعْنَى قَوْلِ بَعْضِ الْمُفْتِينَ

فِي شَيْءٍ لَا يُشْرَعُ

وَلَكِنَّهُ جَائِزٌ

لَا يُشْرَعُ وَلَكِنَّهُ جَائِزٌ

فَمُرَادُهُ أَنَّهُ لَيْسَ مَأْمُورًا بِهِ

فَلَا يَجِبُ وَلَا يُسَتَحَبُّ

وَلَكِنْ يَجُوزُ أَنْ يَفْعَلَهُ الْعَبْدُ

وَقَدْ يُنْفَى الْمَشْرُوعُ

وَيُرَادُ بِهِ الْمَنْعُ مُطْلَقًا

إِذَا ذُكَرَ مُتَقَابِلَيْنِ

إِذَا ذُكَرَ مُتَقَابِلَيْنِ

كَقَوْلِهِمْ التَّوَسُّلُ الْمَشْرُوعُ وَالْمَمْنُوعُ

إِذْ إِنَّ الْمَمْنُوعَ لَا يَحْتَمِلُ

إِلَّا الْمَحْظُورَ وَهُوَ الْمُحَرَّمُ


Artikel asli: https://nasehat.net/makna-kalimat-disyariatkan-dalam-kitab-fikih-syaikh-shalih-al-ushaimi-nasehatulama/